Friday, March 23, 2007

resensi buku

Judul buku : Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk; Catatan Anak Muda Menentang Tirani
Penulis : FX Rudy Gunawan
Penerbit : Grasindo, 1999
Tebal halaman : 160 hlm
“Keterlibatan saya sebagai seorang aktivis merupakan konsekuensi logis dari pencarian akan makna kehidupan pribadi dan sosial saya sebagai seorang anak muda”.
Diawali oleh tulisan Xanana Gusmao yang mengenal Budiman Sudjatmiko ketika berhubungan dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Budiman dengan PRD-nya (Partai Rakyat Demokratik) akan menyesuaikan diri dengan realitas Indonesia yang beraneka ragam dan perlu waktu untuk memperkuat dirinya secara kualitatif.
Biografi ini terbagi menjadi 5 bagian; Pilihan Hidup, Menjadi Organisator Rakyat, Perjalanan Politik, Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kehidupan Penjara. Budiman atau ‘Iko’ dilahirkan di desa Pahonjean, Kecamatan Majenang, Jawa Tengah ini semenjak kecil memang sengaja tidak diberitahu orang tua yang sebenarnya ketika Iko diasuh di Bogor karena orang tua Iko memiliki 1 anak lagi sehingga untuk mengurangi beban asuh, orang tua Iko menyerahkan Iko kepada Pak Dek dan Bu Liknya. Mungkin hal inilah yang membuat Iko tumbuh sebagai aktivis radikal di Yogyakarta, baik ketika SMA maupun sewaktu sebagai mahasiswa Universitas Gajah Mada.
Ditahun pertamanya dalam keterlibatan mahasiswa, Budiman menjalankan peran sebagai propaganda organisasi dan tenaga pendidikan. Budiman bertugas membuka daerah pengorganisasian baru untuk kaum tani di kabupaten Cilacap perihal penggusuran tanah petani yang akan digunakan sebagiai pembangunan proyek pabrik serat plastik antara gabungan modal Jepang dan korperasi Bimantara.
Budiman memutuskan meninggalkan kuliah ketika menginjak semester III dan hal ini tidak terlepas dari konflik dengan ayahnya yang tidak menyetujui aktivitas Budiman dalam pergerakan mahasiswa. “Meninggalkan bangku kuliah memang mengecewakan bagi kedua orang tua saya sampai-sampai saking kecewanya mereka kemudian memutuskan untuk tidak mengirimkan saya uang lagi. Tapi dunia aktivis adalah jawaban yang telah saya temukan dalam pencarian makna kehidupan saya. Jadi, resiko apa pun memang harus saya hadapi, kan?” (hal 6-7)
PRD adalah hasil konkret dari seluruh proses interaksi Budiman dengan realitas sosial-politik masyarakat. Partai ini didirikan oleh generasi 80-an akhir, sehingga dapat dikatakan sebagai partai yang bebas dari generasi tua. PRD kemudian dicap sebagai musuh negara pasca 27 Juli 1996. Sebelumnya, gerakan Budiman dan kawan-kawannya dituduh sebagai Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) karena mereka belum secara resmi mendirikan partai sebagai wadah. (hal 10)
Keterlibatan Budiman dalam proses lahirnya PRD dimulai dari tingkat gagasan, selain itu perkembangan kesadaran politik mulai terlihat. Contohnya munculnya SBSI sebagai serikat buruh alternatif. Peristiwa politik lain adalah kemunculan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDI.
Pengalaman Budiman di Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta membangkitkan semangat Budiman untuk terus memelopori konsolidasi nasional organisasi pergerakan rakyat. Budiman terus mengevaluasi dan mencari sumber kegagalan upaya konsolidasi, diantaranya karena kurang eksplorasi teoritis dalam menganalisa perkembangan masyrakat yang berkaitan dengan upaya konsolidasi. Kemudian Budiman berkesimpulan untuk tidak terburu-buru menawarkan pembentukan organisasi.
Konsolidasi gagasan yang mendahului konsolidasi politik dan organisasional sering dilupakan orang. Hal ini berarti, upaya untuk membangun ikatan ideologis dan bukan sekadar ingatan jangka pendek. Namun, Budiman sadar yang dirinya dan kawan-kawannya dirikan bukan sebuah kelompok studi, melainkan organisasi politik pergerakan rakyat. (hal 20)
Budiman sebelumnya sempat dicurigai melakukan konspirasi politik tertentu. Ia pernah dipanggil oleh Bakorstranasda Jawa Barat melalui Kantor Sos-Pol Kota Madya Bogor, kendati dituduh tanpa bukti. Namun, sejak saat itu Budiman sadar bahwa kekuasaan Orde Baru sangat takut terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat, apalagi saat itu Budiman masih berusia 18 tahun. Budiman kemudian membelokkan perhatiannya kepada teori gerakan sosial setelah berdiskusi dengan para aktivis Filiphina dan Myanmar, sebelumnya Budiman mencoba memfokuskan diri kepada kajian ekonomi-politik. Bagi Budiman, untuk terjun ke dunia politik seseorang harus memiliki konsep tertentu dalam melihat manusia, masyarakat dan alam. Seorang politisi harus menjadi prajurit bagi keyakinan politiknya, dan idealisasi ini yang dipegang Budiman untuk concern kepada komunitas kaum petani.
Budiman mulai tergerak untuk menyatu dengan rakyat ketika melihat desa Soka, Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen. Petani di desa Soka mengorganisir kegiatannya secara mandiri dan tanpa campur tangan aparat, petani desa Soka berhasil memobilisasi ribuan rakyat untuk berada di lokasi PTKO (Paguyuban Tani Kedung Ombo).
Kemudian Budiman selama berbulan-bulan mengorganisir pertemuan, hingga akhirnya kira-kira 3 bulan, Budiman berhasil membawa 500-an penduduk desa ke Jakarta untuk menemui Mendagri yang saat itu dijabat oleh Rusdini. Saat itu, mereka berhasil memaksa Rusdini untuk bicara langsung di halaman kantor Depdagri untuk menurunkan Tim Pencari Fakta. (hal 48)
Budiman pernah melakukan long march dengan jarak 5 km bersama ribuan rakyat tani Cilacap hingga ke alun-alun kabupaten. Budiman tahu persis bagaimana provokasi dari para intel untuk memancing kemarahan rakyat. Mereka biasanya meneriakkan yel-yel yang tidak berkaitan dengan tuntutan rakyat, seperti yel-yel anti-Cina. Pola semacam itu meski terbilang kuno, masih dipraktekkan terutama bila isu SARA dijadikan bahan provokasinya. Dan dirinya berhasil membuktikan bahwa jika rakyat mendapatkan pendidikan politik dengan baik, mereka tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis.
FKMY kemudian pecah, dan Budiman membentuk Komite Rakyat (KR). Budiman ketika itu sedang melakukan pengorganisasian petani dan buruh perkebunan karet di Cilacap. Pada dekade 50-an, para petani yang telah mendapat sertifikat tanah dirampas dan dibakar dengan alasan produksi Orde Lama. Keadaan terus diperparah dengan fakta bahwa petani dan buruh perkebunan tersebut adalah mantan anggota Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafilisasi PKI, dan berujung mengakibatkan banyak korban jiwa.
Kasus Belanguan, merupakan salah satu kasus yang menentukan jalan politik Budiman. Belanguan dijadikan pilihan pasukan marinir sebagai tempat latihan. Daerahnya berbukit dan terletak tepat dibelokan antara kabupaten Situbondo dam Banyuwangi. Saat itu, penduduk ingin melakukan aksi tanam, namun selalu dihalangi oleh aparat marinir. KR kemudian memutuskan menghubungi mahasiswa Yogya yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Yogyakarta (SMY).

No comments: