Friday, March 23, 2007

UN kontradiktif


Oleh; wita dwi maharani putri

KTSP berorientasi kepada sekolah sedangkan (UN) ujian nasional bersifat sentralistik. KTSP memiliki standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akibatnya, materi pokok dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Namun, butir soal UN mencakup kedalaman materi yang sama, sangat tidak mungkin bila soal UN yang diberikan sama untuk setiap propinsi. Dan tak pantas rasanya, bila taraf perkembangan yang dinilai hanyalah kognitif padahal menurut Howard Gardner, setiap manusia memiliki kecerdasan yang berbeda—tidak hanya kecerdasan matematika saja.
Oleh sebab itu, perlu mereformasi pelbagai kebijakan UN agar sejalan dengan KTSP. Setelah sekolah telah memberlakukan KTSP, sekolah berhak untuk menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah telah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan salah satu caranya dengan ujian sekolah. UN sebaiknya berfungsi untuk sertifikasi dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. UN yang sifatnya terbuka, tidak diwajibkan bagi semua siswa. Ada baiknya UN diselenggarakan lebih dari sekali setahun.
UN telah melanggar aspek pedagogis karena hanya mengembangkan aspek kognitif saja tanpa memerhatikan psikomotorik dan afektif, selain itu aspek psikologis siswa karena tiap tahun standar kelulusan meningkat, membuat siswa hanya menghapal soal-soal yang kemungkinan keluar baik di sekolah maupun rumah, disamping itu UN membuat peran guru tidak ada untuk evaluasi hasil belajar untuk memantau proses selama 3 tahun belajar dan anggaran yang dikeluarkan APBN untuk penyelenggaraan UN karena belum diberitakan jelas alurnya sehingga kemungkinan korupsi masih terbuka lebar.
Belum lagi dana yang tidak tertuga yang harus dikeluarkan siswa. Siswa mungkin dibebaskan dari biaya untuk mengikuti UN, tapi karena distribusi dana ujian belum jelas, sehingga sekolah bisa saja membebankan biaya ujian kepada siswa.
Fakta dilapangan, sebenarnya siswa diajak bertaktik untuk mereka-reka jawaban pilihan ganda, dan umumnya soal-soal UN merupakan pengulangan soal tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan masa depan siswa tergantung dari 5 pilihan jawaban yang ada, sungguh ironis, penilaian pilihan jawaban inilah yang menentukan apakah siswa dianggap lulus setelah 3 tahun belajar. Terlebih lagi hanya 3 mata pelajaran yang dijadikan tolok ukur kelulusan, sementara mata pelajaran lain seakan diberikan hanya untuk memenuhi kurikulum dan mengisi jam sekolah. Mendiknas sendiri menyatakan menolak diadakan ujian ulang bagi yang tidak lulus karena beranggapan UN adalah wewenang pemerintah, termaksud menggelar UN ulang atau tidak. Mau tak mau pilihan siswa adalah ikut ujian tahun mendatang atau mengikuti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). PKBM memang sebagai penyelenggara paket C setiap waktu siap menerima pendaftaran dan menjadi lahan untung dengan adanya siswa yang tidak lulus UN. Masalahnya, apakah dengan paket ini permasalahan UN selesai?
Permasalahan belum berhenti. Apalagi Menko Kesra menyatakan keputusan menerima siswa tergantung kepada masing-masing perguruan tinggi. Hal ini berarti, kebijakan universitas menentukan apakah diterima atau tidaknya paket C. Seakan ada permainan disini. Di satu sisi, pemerintah ingin menaikkan taraf kualitas pendidikan yang sekarang naik menjadi 5,0, namun di sisi lain, program bimbingan belajar dan PKBM menjadi suatu badan yang diminati, dan miris bagi orang tua siswa yang tidak lulus telah membayar bimbingan belajar, kemudian mengikuti PKBM lantas berakhir ijazah paket C-nya ditolak perguruan tinggi yang siswa inginkan. Alhasil, siswa tersebut harus mengikuti ujian nasional dan artinya harus mengeluarkan dana lagi untuk mengikuti UN.
Padahal kalau dilihat dari falsafah pendidikan, memanusiakan manusia. Namun, kenyataannya seperti memproduksi siswa yang hanya bisa mengerjakan puluhan soal maka dapat dikatakan lulus, tidak terlihat dimana sisi manusia dengan beragam kecerdasan masing-masing yang seharusnya diasah. Seolah-olah hanya behavior yang berulang-ulang dari ketiga soal mata pelajaran yang diwajibkan, padahal kontrukstivistik-lah yang cenderung bisa memanusiakan yakni mendidik secara mandiri karena konsep yang dialirkan tidak mudah begitu saja diterima siswa sehingga lebih baik siswa mengalami bagian pelajaran yang seharusnya dipelajari. Dan hasil belajar siswa sudah sepantasnya tidak dinilai dengan pilihan ganda.
Kesemua kesemrawutan ini tidak dapat dipisah dengan mutu pendidikan, terutama tenaga pengajar. IKIP sebagai pabrik guru masih dianggap bottom ten dari lulusan SMU. Harus ada kebijakan untuk menaikkan pamor guru di mata masyrakat. Keprofesionalan jelas dituntut: penguasaan materi, pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan agar guru tahu situasi siswa yang diajar sehingga pencapaian standa kompetensi dapat dicapai. Dan pendidikan harus membebaskan, pendidikan harus dilonggarkan dari tekanan birokrasi negara. UN begitu menghamburkan banyak anggaran pemerintah agar soal-soal bisa sampai di setiap pelosok propinsi, belum lagi biaya pemeriksaan dan upah pengawas.
Ditambah pula tugas guru untuk mendidik seharusnya tidak perlu dipenuhi dengan pikiran rumah tangga lantaran dapur tidak berasap. Pemerintah lebih baik memfokuskan kualitas guru karena UN belum siap diterapkan saat ini. Penekanan terhadap standar kelulusan membuat guru ketar-ketir memikirkan anak didiknya untuk lulus, wajar saja jika terdapat kasus kecurangan UN setiap tahun dengan alasan iba dan upaya meningkatkan akreditasi sekolah.
Anggaran UN bisa saja diminimalisir, misalnya dengan cara memberikan hard copy ke masing-masing wilayah dan pemeriksaan jawaban bisa dilakukan oleh masing-masing sekolah, dengan tidak melupakan peran pengawas pemerintah. Sebenarnya, banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan SDM guru terlebih dahulu dan tanpa harus mengorbankan perserta didik. Melalui pendidikan yang baik peserta didik diberdayakan untuk memperbaiki nasibnya sendiri. (wdmp)

No comments: